Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)
hikmah terjadinya perang uhud bagai perumpamaan “masa yang sudah kita lewati selama karantina covid19 ke masa era new normal, jangan PeDe, jangan lalai, jangan lupa, tetap waspada, jaga kesehatan, jaga kebersihan, tingkatkan Ketaqwaan, Keimanan serta ukhuwah (kebersamaan silaturahmi protokol kesehatan)”
Ayat ini menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah. Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan kebathilan. Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan tujuh puluh orang, serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab pertanyaan ini.
Kerapian Sistem “Sunnatullah”
Allah swt. berfirman, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata: dari mana kekalahan ini?” Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan kekalahanmu? Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai akan tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu, sementara kamu tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian pemahaman yang harus kamu jalani dalam berjuang di jalan Allah.
Allah swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan sangat rapi. Siapa yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal. Tidak ada langkah dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada. Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu dipertahankan, jangan sampai ada langkah apapun yang kemudian menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah dibangun. Seorang aktivis dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar.
Ayat di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis dakwah harus selalu mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya kualitas amal fardiyah tidak mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada masyarakat umum secara lebih luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi, ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di atas adalah gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada Rasulullah saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat sekualitas sahabat dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. akan mengalami kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena kelengahan segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan. Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akan tugas yang harus mereka perjuangkan.
Khalid awalnya termasuk musuh Islam yang paling keras. Dalam Perang Uhud, ia memimpin pasukan kuda Quraisy yang berhasil memukul balik pertahanan kaum Muslimin. Saat itu, pada mulanya kaum kafir Quraisy terdesak sehingga berlarian menyingkir dari tebasan pedang pasukan Muslim.
Mereka meninggalkan harta benda di belakang. Melihat musuhnya tunggang- langgang, pasukan Muslim yang bertugas mengawasi dengan senjata panah dari bukit justru turun merebut harta rampasan perang. Di sinilah Khalid melihat peluang.
Khalid bergegas menyerang pasukan Muslim dari arah belakang. Dalam situasi terkejut, cukup banyak pasukan Muslim yang terkena serangan anak buah Khalid. Akan tetapi, Khalid tidak mampu menembus benteng kokoh yang terdiri atas tubuh-tubuh kelelahan para sahabat yang setia menjadi tameng hidup untuk melindungi Rasulullah SAW. Saat itu, dalam diri mereka terdapat keimanan yang kuat, sedangkan dalam pasukan Quraisy hanya ada nafsu dendam.
Masuk Islamnya Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang. Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah. Di sisi lain, kondisi di Makkah kian melemah. Enam tahun setelah peristiwa hijrah, perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah SAW dan pemimpin Quraisy.
Dalam pada itu, kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya. Lantaran perjanjian ini, Nabi Muhammad SAW dan seluruh pengi kutnya berhak melakukan perjalanan ibadah haji ke Makkah dalam situasi kondusif.
Khalid mengamati langsung bagaimana umat Islam berbondong-bondong bergerak bersama-sama dari Madinah ke Makkah hanya untuk satu tujuan, yakni menuntaskan kerinduan pada kampung halaman Nabi SAW serta menjalani ibadah haji.
Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih luhur, yakni keimanan pada Allah SWT. Dengan kata lain, Nabi tidak menyimpan dendam pada orang-orang Quraisy yang telah menyingkirkannya dari Makkah.
Seperti ditulis dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat,pada suatu hari Khalid merenungkan agama Islam yang ia saksikan sendiri semakin besar pengikut dan maruahnya. Khalid pun berkata, Demi Allah, sungguh jalan keben aran telah tampak. Orang itu (Nabi Muhammad SAW) benar-benar utusan Allah. Lalu, sampai kapan aku memeranginya? Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam.
Keinginan Khalid ini mendapat kecam an dari tokoh Quraisy, Abu Sufyan. Namun, Khalid tidak menyerah. Ia pun menemui Utsman bin Thalhah dan selanjutnya berpapasan dengan Amr bin al-Ash. Ketiganya pergi ke Madinah menghadap kepada Rasulullah SAW di hari pertama Bulan Shafar tahun delapan Hijriyah.
Ketika berjumpa dengan Nabi, Khalid mengucapkan salam pujian. Wajah Rasulullah berseri-seri dengan menjawab salam Khalid dan dua temannya itu. Sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Khalid memohon ampunan kepada Allah dan meminta pengertian dari Nabi akan perangainya dahulu sebagai pemimpin pasukan kafir Quraisy. Rasul pun bersabda, Sesungguhnya Islam menghan curkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya (orang masuk Islam).
Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti kehati-hatiannya dulu sebelum kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum muslimin di Uhud, mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat mereka lupa kepada pesan pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah yang kemudian terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat. Karenanya Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah, “Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).
Kesalahan Diri Sendiri, lalai, lupa
Firman Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam mengenai beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat zhalim. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan bahwa umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).
Kedua, bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa kualitas pekerjaan apapun sangat ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka sungguh sangat menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah. Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani hakikat kehambaan-Nya kepada Allah, maka juga akan semakin produktif dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis mulai tertipu dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat menemukan tanda-tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian dari firman-Nya: qul huwa min indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau kesampingkan. Maka bila dakwah yang kau lakukan tidak memberikan keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan kemunkaran itu asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang tadinya tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah, ia berubah haluan, dunia malah menjadi tujuan. Orang yang seperti ini akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana akibat tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti kekalahan yang telah menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.
Ketiga, bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam menjalani kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu dipertahankan. Sedikit lengah dan tertipu oleh kepentingan sesaat, ia akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan akan menjadi sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan bantuan-Nya. Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda hilangnya keberkahan dalam kerja dakwah tersebut. Bila keberkahannya hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan menjadi bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)
Perhatikan betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik sebagai hamba Allah yang tercermin dalam kekhusu’an ibadahnya, maupun sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah sebagai medan utama perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah menuntut ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas dirinya, kualitas ketaatannya kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya. Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna kesungguhan, keseriusan dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan tugas-tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan istilah: al muhafadzah alaa jaudatil junuud (memelihara kualitas aktivis dakwah).
Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri
Pengertian lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa kualitas diri merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah. Terutama ketika amal dakwah tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda keberhasilan. Di sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah diperlukan. Sebab tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti akan mengalami penurunan. Bahkan tidak mustahil timbulnya gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini kemudian muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan hasil usaha yang sudah dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati kemenangan, namun akhirnya malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah: qul huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas diri yang membuat mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di perang Badar dan di permulaan perang Uhud. Anehnya kualitas diri tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.
Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan keniscayaan untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus berlangsung dengan baik, apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh segelintir orang, melainkan harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja keras sebagian orang lalu yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Seorang aktivis dakwah adalah seorang selalu memelihara hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam kebersamaannya dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi ketimpangan. Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan. Kegagalan perang Uhud seperti yang ditegaskan dalam ayat di atas adalah contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari mereka yang tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.
Penyakit seperti ini seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para aktivis selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara itu seringkali kehabisan nafas. Akibatnya dakwah menjadi korban. Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan, “innallaaha ‘laa kulli sya’in qadiir” (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu). Itu untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa menjalankan sunnah-Nya tersebut secara sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-sungguh mengikuti sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal sekalipun ia beriman kepada-Nya.
Manusia diciptakan oleh Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan manusia tetap maha lemah di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya tidak akan pernah mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total dari Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus tetap memelihara ketundukan ini secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia lakukan ia akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial dalam kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal memelihara dan meningkatkan tingkat ketundukan yang pernah ia capai, ia pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat.
Selain itu menurut H.Deni Mardiana,Lc. (Dewan Pengawas Syariat Indonesia Berbagi Foundation)
PENGANTAR Mengambil-Hikmah-Dari-Perang-Uhud
Perang badar telah usai. Peperangan yang dialami pertama kali oleh Rasulullah dan kaum muslimin di Madinah itu menyisakan hikmah dan pelajaran yang luar biasa. Alloh memberikan kemenangan dalam perang badar sebagai jawaban dari doa dan ikhtiar yang selama ini selalu diperjuangkan oleh Rasul dan para sahabat. Kaum muslimin menjadi semakin yakin bahwa tantangan dakwah ke depan tidaklah mudah. Upaya musuh islam untuk menghalangi tersebarnya dakwah akan terus dilancarkan dengan berbagai macam cara termasuk dengan peperangan sekalipun. Kaum muslimin menjadi semakin waspada akan ancaman itu semua sehingga terjalin sebuah konsolidasi yang kuat diatara mereka pasca perang badar terjadi.
Begitulah sunnatudda’wah yang dialami Rasul dan para sahabat dalam perjalanan mendakwahkan islam dahulu. Sunnatuttadaafu’ atau konfrontasi antara pejuang kebenaran dan pejuang kebathilan selamanya akan terus terjadi dimanapun dan kapanpun. Selama ada pejuang kebenaran disana, maka para pejuang kebathilan tidak akan tinggal diam, seribu macam cara akan mereka lakukan untuk melemahkan bahkan melumpuhkan siapa saja yang bersebrangan dengan keinginan mereka bahkan dengan ideologi mereka sekalipun. Perang badar memberikan pelajaran berharga akan pentingnya menyiapkan segala perbendaharaan dan persiapan yang berkaitan dengan perjuangan menegakkan al haq. Menyiapkan kekuatan ruhiyyah yang mumpuni menjadi syarat utama persiapan itu dilakukan. Latihan memanah, latihan memainkan pedang, latihan berkuda dan gulat menjadi bagian dari aktivitas kesehariaan para sahabat pada waktu itu. Dan sejarah membuktikan, setelah perang pertama usai, peperangan demi peperangan menghiasi kehidupan dakwah Rasulullah saw dan para sahabat. Keimanan yang kuat disertai kesungguhan mengejar kesyahidan menjadi kekuatan utama mereka menghadapi peperangan demi peperangan.
Faktor Terjadinya Perang Uhud
Dr. Ali Muhammad As-shollabi dalam kitabnya Ghazawaaturrasul, menyebutkan bahwa ada empat faktor utama yang melandasi terjadinya perang uhud.
Pertama: Faktor Agama
Alloh telah mengabarkan kepada kita dalam Al-Quran bahwa orang-orang musyrikin selalu menginfakkan hartanya untuk menghalangi kaum muslimin dari jalan Alloh, melancarkan serangan untuk melumpuhkan dakwah islam bahkan melakukan berbagai macam cara agar Islam dan kaum muslimin tidak maju dan berkembang. Alloh SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Alloh, mereka akan menafkahkan harta itu kemudian menjadi penyesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Lalu ke neraka jahannamlah mereka akan dikumpulkan.” (QS.Al-Anfal: 36)
Kedua: Faktor Sosial
Kekalahan kaum musyrikin quraisy dalam perang badar dan terbunuhnya beberapa petinggi mereka memberikan dampak kehinaan dan aib yang besar bagi mereka. Abdullah bin Rabi’ah, Ikrimah bin Abi Jahal, Al-Harits bin Hisyam, Huwathib bin Abdul Uzza dan Shafwan bin Umayyah membujuk Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy lainnya untuk menggunakan barang dagangan yang tersisa sepulangnya dari perang badar untuk dijadikan modal membalas dendam kematian para petinggi Quraisy di perang badar. Dengan lantang dan penuh semangat Abu Sufyan berkata dihadapan mereka: “Akulah orang pertama yang akan menyambut permintaan itu.”
Bahkan, Jubair bin Muth’im memanggil budaknya bernama Wahsyi yang dikenal memiliki kepiawaian melempar tombak untuk ikut bergabung bersama barisan kafir quraisy lainnya. Wahsyi ditugaskan untuk membunuh paman Nabi Muhmmad saw yaitu Hamzah sebagai balasan terbunuhnya paman Jubair yaitu Thu’aimah bin Adi. Jika berhasil, Wahsyi ditanggung merdeka.
Ketiga: Faktor Ekonomi
Pergerakan ekspansi yang dilakukan oleh negara Islam membawa dampak terhadap kondisi ekonomi kaum Quraisy. Perjalanan dagang mereka dari Syam ke Yaman dan sebaliknya tidak lagi mendapatkan kelancaran sebagaimana mestinya. Shafwan bin umayyah bahkan mengatakan: “Muhammad dan sahabatnya telah mempersempit gerak perdagangan kami. Mereka selalu mengawasi kawasan pesisir. Karena ia telah berdamai dengan penduduknya dan mayoritas penduduknya telah bergabung dengannya. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
Keempat: Faktor Politik
Kedaulatan Quraisy telah runtuh pasca peristiwa kekalahan perang badar. Kedudukannya diantara kabilah arab lainnya semakin tergoncang. Mereka berfikir keras bagaimana agar posisi mereka tidak digantikan oleh kabilah lain. Mereka berkonsolidasi untuk merubah keadaan.
Proses Terjadinya Perang Uhud
Kaum kafir Quraisy sudah bangun dari kesedihannya. Pada tahun ketiga hijriyyah dibulan Syawwal mereka memobilisasi pasukan yang terdiri dari 3000 tentara disertai para wanita, para budak, dan beberapa kabilah disekitarArab. Persenjataan dan perbendaharaan perang lainnya sudah mereka persiapkan untuk membalaskan dendam kekalahan badar. Abu Sufyan tampil sebagai komandan perang, ditemani istrinya Hindun binti Utbah. Mobilisasi infak mereka untuk membiayai perang Uhud pun ternyata luar biasa. Sebanyak 50.000 dinar emas berhasil mereka kumpulkan lewat propaganda informasi yang dimotori oleh Abu Izzah Amru bin Abdillah Aljumahi, Amru bin Ash dan yang lainnya.
Sementara itu di kubu kaum muslimin, mereka terus memantau pergerakan dan menganalisa kekuatan musuh. Adalah Al-Abbas bin Abdul Muthallib yang menjadi intelejen pasukan kafir Quraisy dari Mekkah. Ia segera mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad yang pada waktu itu sedang berada di masjid Quba di Madinah. Di dalam surat tersebut ia menyampaikan: “Pasukan kafir quraisy sudah bertekad bulat untuk bergerak menuju kepadamu. Apa saja yang bisa engkau perbuat jika mereka telah sampai kepadamu maka lakukanlah! Mereka membawa sejumlah pasukan yang terdiri dari dua ratus pasukan berkuda, tujuh ratus orang memakai baju besi, tiga ribu unta dan persenjataan lain sudah mereka persiapkan.”
Nabi tidak mencukupkan diri mendapatkan informasi intelejen dari Mekkah saja, namun beliaupun terus melakukan updating berita musuh dari beberapa penjuru. Ini sengaja dilakukan agar mampu memetakan langkah dan strategi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi serangan musuh. Khabbab bin Mundzhir diutus untuk menggali informasi pasukan quraisy. Ia masuk ketengah-tengah pasukan untuk memantau lebih dekat kondisi mereka. Selain itu,Nabi pun mengutus Anas dan Mu’nis, keduanya anak dari Fudhalah. Ia ditugaskan memata-matai pasukan quraisy yang sudah mendekati kota Madinah. Mereka membiarkan kuda dan untanya untuk memakan tanaman disekitar Madinah kemudian pulang dan mengabarkan kondisi kepada Rasulullah saw.
Setelah memastikan kebenaran informasi tersebut, beliau membatasi informasi tersebut hanya diketahui ditingkat para pimpinan saja, untuk meghindari adanya dampak yang tidak baik terhadap mentalitas kaum muslimin sebelum mempersiapkan segala perangkat perang dengan matang. Rasul kemudian mengumpulkan sejumlah sahabat untuk bermusyawarah membicarakan apakah mereka akan tetap tinggal di Madinah dan bertahan disana, ataukah mereka akan keluar menghadapi kaum musyrikin. Saat musyawarah terjadi, Nabi berpendapat untuk tetap tinggal di Madinah, dengan alasan bahwa madinah adalah benteng yang kokoh. Namun sekelompok kaum muslimin yang tidak mengikuti perang badar berkata: wahai Rasul, keluarlah bersama kami untuk menghadapi mereka. Ibnu Katsir berpendapat, kebanyakan sahabat hanya ingin keluar menghadapi musuh dan tidak mengindahkan pendapat Rasulullah. Jika seandainya mereka mengikuti pendapat Rasul tentu kejadiannya akan berbeda. Namun syura sudah ditetapkan dan Rasul mengikuti pendapat itu. Ibnu Ishaq berkomentar, setelah keputusan ditetapkan Rasul masuk kerumahnya dan segera memakai baju perang. Disamping itu, para sahabat saling menyalahkan satu sama lain bahkan ada yang menyarankan kepada Hamzah untuk datang menemui Rasul membatalkan hasil musyawarah. Hamzah masuk kedalam rumah Rasul dan menyampaikan hasil usulan tadi yang menyatakan bahwa para sahabat mengikuti pendapat Rasul untuk tetap berada di Madinah. Lantas Rasul bersabda: “Tidak pantas bagi seorang Nabi, jika telah memakai baju besi perangnya, untuk menanggalkannya kembali sebelum ia berperang.”
Nabi telah bertekad untuk keluar dan telah mengumumkan kondisi siaga kepada kaum muslimin di Madinah. Semua melewati malam-malam dalam kondisi yang waspada dan setiap orang tidak terpisahkan dari senjatanya. Rasul memilih lima puluh orang pemberani dan ahli perang dari kaum muslimin dibawah komando Muhammad bin Maslamah.
Pasukan kaum muslimin berangkat menuju Uhud. Diantara sarana penting yang diambil oleh Rasululloh saw untuk menghadang musuh adalah memilih waktu kapan harus bergerak dan memilih jalan yang sesuai dengan strategi beliau. Rasul dan para sahabat bergerak setelah pertengahan malam ketika udara sangat tenang dan terasa senyap, melewati pepopohan dan jalan yang jarang dilalui oleh orang-orang, bukan jalan umum. Hal ini tentu dilakukan agar musuh tidak mengetahui jejak perjalanan kaum muslimin dan mengetahui seberapa besar kekuatan kaum muslimin, sehingga mereka mampu mengatur strategi dalam menghadang pasukan kaum muslimin.
Ketika pasukan sudah sampai di Asy-Syauth (sebuah kebun yang berada diantara kota Madinah dan bukit Uhud), Abdullah bin Ubay bin Salul -tokoh munafik- menarik diri dari rombongan pasukan perang beserta tiga ratus orang kaum musyrikin lainnya dengan alasan bahwa peperangan tidak akan terjadi. Selain itu dia pun menyampaikan penolakan atas keputusan berperang diluar kota Madinah. Tujuan utama dari pembangkangan ini tentu menimbulkan kekacuan dan kegoncangan mental pasukan yang lain. Pengkhianatan ini menjadi pembeda antara kaum munafikin dan kaum mukminin yang setia bersama perjuangan Rasulullah saw. Abdullah bin Amru bin Haram berusaha membujuk mereka namun tidak berhasil. Sikap pembangkangan ini pun ternyata menimpa kepada Bani Salamah dan Bani Haritsah. Mereka berencana keluar dari pasukan namun Alloh langsung menegur dan menjaga mereka dengan firman-Nya: “Ketika dua golongan dari padamu ingin mundur karena takut, padahal Alloh adalah wali bagi kedua golongan tersebut. Karena itu hendaklah orang-orang mukmin itu bertawakkal kepada Alloh.” (QS. Ali Imron: 122)
Hasil musyawarah telah diputuskan. Pendapat pribadi Rasulullah saw untuk tidak keluar dari Madinah dan menyambut pasukan di Madinah pun sudah dipatahkan dengan keputusan hasil syuro untuk tetap keluar dan menyerang musuh diluar kota Madinah. Rasul telah memberikan teladan tentang pentingnya menghormati hasil syuro walaupun bertentangan dengan pendapat pribadi beliau. Baju besi sudah bersarang ditubuh Rasulullah sebagai bukti keseriusan Rasul untuk berperang diluar Madinah. Walaupun ada upaya untuk merubah hasil syuro dan kembali mengikuti pendapat Rasul, tetap tidak diambil Rasulullah, beliau tetap bersama hasil musyawarah.Masalah kemudian timbul ketika ada sebagian kaum munafikinyang mengkhianati hasil syuro. Melemparkan pendapat yang tidak pantas disampaikan dihadapan Rasulullah dan melakukan manuver-manuver untuk mempengaruhi orang lain untuk mengikuti sikapnya. Peristiwa ini sudah terjadi di masa Rasulullah saw dan sangat mungkin terjadi menimpa jamaah kaum muslimin hari ini. Sebuah pelajaran berharga tentang cara Alloh memilih dan memilah siapa yang setia dengan perjuangan dan siapa yang hanya bermain-main dengan perjuangan itu sendiri. Pengkhianatan ini menjadi pemicu awal kekalahan kaum muslimin di perang Uhud dan menjadi penanda perang terhadap kaum munafikin yang selalu menjadi benalu di tubuh kaum muslimin. Sikap-sikap Abdullah bin Ubay bin Salul dkk ini pun ternyata berlaku dibeberapa peperangan setelah perang Uhud terjadi.
Strategi Rasul Dalam Menghadapi Pasukan Kafir Mekkah
Seperti yang telah kita fahami bersama bahwa Muhammad Rasulullah saw adalah seorang panglima perang yang cerdas dan disegani oleh seluruh kawan maupun lawan. Kecerdasan itu beliau buktikan di perang Uhud dimana beliau mengatur strategi jitu dalam menghadapi pasukan kafir Mekkah. Tempat yang tepat beliau pilih. Pasukan yang cocok ditempatkan di posisi tersebut pun beliau pilih secara selektif dan sesuai dengan keahliannya, bahkan mengembalikan sebagian sahabat yang belum layak ikut berperang. Lima puluh pasukan memanah beliau siapkan dan ditempatkan di bukit Uhud dengan amanah tidak boleh turun dari bukit apapun yang terjadi dibawah bukit. Pasukan dibagi kepada tiga katibah (regu), ada katibah Muhajirin yang dikomandoi oleh Mus’ab bin Umair. Ada katibah Aus dari Anshar yang dikomandoi Usaid bin Hudhair. Ada juga katibah Khazraj dari Anshar yang dikomandoi oleh Hubab bin Mundzir. Sebelum perang dimulai,Rasul membakar pasukan kaum muslimin untuk senantiasa bersemangat menghadapi musuh dan bersabar di medan pertempuran. Al-waqidi berkata, sebelum perang Uhud Rasulullah berkhutbah dihadapan pasukan: “Wahai segenap manusia! Aku wasiatkan kepada kalian sebagaimana yang Alloh wasiatkan kepadaku dalam kitab–Nya untuk beramal dengan menaati-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Sungguh hari ini kalian berada di tempat berpahala, tentunya bagi siapa saja yang telah disebutkan baginya apa yang menjadi kewajibannya lalu mempersiapkan dirinya untuk bersabar, yakin, bersungguh-sungguh dan bersemangat. Sungguh, jihad melawan musuh adalah suatu hal yang berat dan tidak disukai. Sangat sedikit orang yang bersabar diatas jalan-Nya kecuali bagi orang-orang yang Alloh teguhkan hidayahnya. Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang taat kepada–Nya dan setan bersama orang yang bermaksiat kepada–Nya. Maka mulailah amal-amal kalian dengan bersabar diatas jihad dan raihlah dengannya apa yang Alloh janjikan kepada kalian. Kalian harus melakukan apa yang aku perintahkan. Aku sangat ingin menyampaikan nasihat kepada kalian bahwa perselisihan, pertikaian dan patah semangat merupakan kelemahan yang tidak disukai oleh Alloh dan tidak akan mendatangkan kemenangan dan kejayaan.”
Rasulullah mewanti-wanti kepada para pasukan untuk tidak menyerang sebelum diperintahkan untuk menyerang termasuk tidak mengizinkan pasukan pemanah untuk turun dari bukit sebelum diperintahkan oleh Rasulullah saw. Bahkan Rasul menegaskan untuk tetap setia berada dibukit apapun yang terjadi di lembah walaupun kondisi kaum muslimin terbunuh. Lemparilah mereka dengan anak panah kalian karena kuda itu tidak akan mampu melewati panah. Kita akan senantiasa dalam posisi menang manakala kalian tetap berada di posisi kalian.
Rasulullah bersama para sahabat maju berperang dan mengatur barisan mereka seperti barisan shalat. Rasul berjalan kaki untuk mengatur barisan dan mempersiapkan para sahabat untuk berperang seraya berkata: “Majulah wahai fulan! Mundurlah wahai fulan!” Beliau sendiri yang mengatur pasukan sehingga barisan menjadi lurus. Orang-orang tangguh disimpan dibarisan terdepan agar mereka dapat membukakan jalan bagi pasukan yang berada dibelakang mereka.
Puncak Peperangan Dan Tanda Kemenangan Untuk Kaum Muslimin
Diawal perang, Abu Sufyan berupaya membuat kekacauan dan benturan dalam barisan kaum muslimin. Ia mengirim utusan kepada kaum Anshar untuk berkata: “Biarlah kami hanya berurusan dengan anak paman kami dan kami akan membiarkan kalian. Kami tidak memiliki kepentingan untuk berperang dengan kalian.” Upaya ini gagal karena kaum Anshar sekali-kali tidak pernah ingin melepaskan diri dari pasukan dan setia bersama perjuangan Rasulullah saw.
Perang pun dimulai. Ali bin Abi Thalib adu tanding bersama Thalhah bin Usman. Ali menebas kaki Thalhah hingga terputus sehingga Thalhah terjatuh dan auratnya tersingkap. Ali tidak sampai membunuhnya karena Thalhah memelas untuk tidak membunuhnya karena hubungan kekerabatan.
Rasulullah mengobarkan semangat jihad. Para sahabat tetap pada komando Rasulullah saw dan saling menguatkan mental satu sama lain. Abu Dujanah tampil kehadapan untuk membunuh satu persatu musuh. Kelihaiannyadalam bermain pedang sangat disegani musuh. Heroisme pasukan kaum muslimin menggambarkan keseriusan mereka untuk memenangkan pertempuran. Sejarah telah mengabadikan kepahlawanan Hamzah bin Abdul Muthallib, Mus’ab bin Umair, Abu Dujanah, Abu Thalhah Al-anshari, Sa’ad binAbi Waqqas dan masih banyak yang lainnya.
Pasukan kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran pada babak pertama. Petaka mulai terjadi disaat pasukan pemanah melihat kekalahan menimpa pasukan kafir Quraisy dan sekutunya serta melihat bergelimpangannya harta ghanimah yang berserakan di medan pertempuran. Para pemanah berkata kepada panglima mereka Abdullah bin Jubair:“ Ghanimah..Ghanimah…Ghanimah!” Kondisi di lembah membuat pasukan pemanah goyang keimanannya dan tergoda untuk turun ke lembah, padahal intruksi awal dari Rasul tidak boleh turun dari bukit apapun yang terjadi di lembah.
Pasukan kafir quraisy semakin terdesak dan mereka memilih untuk mundur dari medan Uhud. Dibawah komando Khalid binWalid mereka meninggalkan Uhud dan berbalik arah ke belakang bukit. Saat mereka sudah mulai menjauh dari medan Uhud dan melihat adanya pasukan pemanah turun dari bukit, menjadikan mereka berfikir ulang untuk menyerang kaum muslimin. Akhirnya pasukan kafir Quraisy kembali ke medan Uhud dan mengepung kaum muslimin dari dua arah sekaligus, arah bukit Uhud dan arah belakang pasukan kaum muslimin. Petaka selanjutnya pun terjadi, kaum muslimin diserang habis-habisan dan barisan sudah mulai kacau. Strategi awal yang dibuat Rasul rusak karena sebagian pasukan berebut ghanimah yang tercecer di medan perang. Pasukan kaum muslimin semakin terdesak hingga mampu menembus benteng pertahanan Rasulullah. Mereka melempari Rasul dengan batu hingga berhasil melukai hidung dan memecahkan gigi depan Rasulullah saw. Wajah beliau yang mulia terluka hingga memancarkan darah. Ibnu Qami’ah menyerang Mus’abbin Umair karena sangat mirip dengan wajah Rasulullah saw. Tersiarlah isu bahwa Muhammad sudah terbunuh. Kabar itu semakin membuat kacau pasukan kaum muslimin. Sebagian dari mereka ada yang lari kembali ke Madinah. Sebagian lari ke bukit Uhud dan sebagian memilih untuk melanjutkan peperangan dan syahid.
Rasululloh kembali mengatur strategi. Sembilan orang sahabat nabi menjadi pelindung utama Rasul dari serangan musuh. Thalhah bin Ubaidillah maju menyerang musuh sehingga beliau banyak terluka bahkan tangan kanannya lumpuh oleh anak panah. Nabi hendak naik ke sebuah batu besar namun tidak mampu. Thalhah lalu menjongkokkan diri sehingga Rasul bisa naik ke atas batu dengan pungung Thalhah. Zubair berkata, “Aku mendengar Rasul bersabda ketika naik ke punggung Thalhah bahwa Thalhah wajib masuk surga. Sa’ad bin Abi Waqqas tampil melindungi Rasulullah. Nusaibah binti Ka’ab pun melindungi Rasul dengan pedangnya, namun ia terkena lemparan busur panah dan mengalami luka yang parah. Abu Dujanah tampil menjadi tameng Rasulullah saw dengan tubuhnya. Abu Ubaidah mencabut dua anak panah dari wajah Rasulullah dengan menggunakan giginya. Abu bakar setia mendampingi Rasulullah saw. Umar dan sahabat yang lainnya berusaha memukul mundur pasukan musuh. Mereka berperang mati-matian untuk terus memukul mundur musuh dan tidak beranjak sedikitpun dari medan perang. Kaum musyrikin merasa pesimis untuk mengakhiri perang dengan kemenangan yang mutlak. Akhirnya mundur karena kelelahan akibat lamanya peperangan dan keteguhan pasukan muslimin yang sulit dikalahkan.
Mengambil Hikmah Dari Perang Uhud
Perang uhud telah usai. Puluhan sahabat beserta sahabat dari kalangan wanita menemui kesyahidannya. Mereka telah mendapatkan apa yang selama ini mereka cita-citakan. Kesedihan jelas terpancar di wajah para sahabat yang masih hidup. Orang-orang munafik tetap pada sikap mereka dan merasa benar atas keputusan mereka untuk tidak ikut berperang bersama Nabi di medan Uhud. Namun Alloh telah menetapkan keputusan-Nya dan memberikan pelajaran serta hukuman kepada kaum munafikin yang membangkang dan mempermainkan keputusan Rasulullah saw.
Perang uhud kemudian menyisakan pelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan dakwah kaum muslimin. Setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil untuk menjadi inspirasi dan gambaran bagi proses perjalanan dakwah kita hari ini dan dikemudian hari.
Pertama, Mengingatkan Kaum Muslimin Terhadap Sunnatullah Dan Menyeru Kepada Keimanan Yang Tinggi
Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat 137-139 dalam surat Ali Imron: “Ayat diatas mengandung ajakan untuk merenungkan nasib umat terdahulu yang telah mendustakan dakwah Alloh. Kehancuran dan kebinasaan yang dulu terjadi disebabkan kekufuran, kedzaliman dan kefasikan terhadap perintah-Nya. Begitupun perang uhud, perilaku menyalahi perintah Alloh dan Rasul-Nya menjadi pertanda awal kekalahan kaum muslimin pada perang tersebut. Dan begitulah sunnatullahnya sehingga Alloh segera menghibur kaum muslimin untuk tidak bersedih dan bersikap pengecut karena sejatinya mereka adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya lantaran keimanan mereka.
Kedua, Perang Uhud Menjadi Pembeda Antara Mukminin Dan Munafikin
Ibnu Abbas berkata: “Alloh menyebutkan empat hikmah atas peristiwa yang menimpa kaum muslimin di perang Uhud. Diketahuinya ilmu Alloh dan ditampakkan kepada kaum muslimin. Memuliakan sebagian kaum muslimin dengan mati syahid yang mengantarkan mereka kepada derajat yang tinggi disisi Alloh. Membersihkan dan membebaskan kaum mukminin dari dosa dan dari kaum munafik. Membinasakan dan membasmi orang-orang kafirsecara perlahan.
Ketiga, Menyelisihi Pemimpin Menyebabkan Kegagalan Bagi Seluruh Pasukan
Di babak pertama, kaum muslimin mendapatkan kemenangan dari perang uhud. Namun kondisi berubah disaat intruksi pimpinan dalam hal ini Rasulullah saw sudah mulai dilanggar. Petaka pun terjadi. Kaum muslimin diserang habis-habisan oleh pasukan musuh dan mengalami kekalahan dalam perang ini. Semua terjadi disebabkan sebagian pasukan bermaksiat kepada Nabi Muhammad saw dan tidak bersabar atas apa yang terjadi. Intruksi pimpinan wajib kita taati selama tidak keluar dari syari’at. Patuh kepada intruksi pemimpin menjadi salah satu wasilah Alloh memberikan kemenangan kepada kaum muslimin. Sebaliknya disaat intruksi dilanggar, tentu kita menyaksikan sendiri bagaimana Alloh menegur kaum muslimin akan sikap mereka seperti itu.
Keempat,Sikap Ampunan Nabi Bagi Pasukan Memanah
Alloh memerintahkan Rasul untuk mengampuni pasukan memanah. Dengan lapang dada dan penuh kasih sayang, ampunan itu disampaikan oleh Rasulullah kepada para pasukan memanah. Alloh pun memaafkan mereka dan mensucikan mereka. Sikap memaafkan ini menjadi inspirasi bagi kita semua bahwa hendaklah kita selalu mengedepankan mengambil kemashlalatan yang lebih luas dibanding mengambil kemadharatan yang berdampak negatif dikemudian hari. Terbayang bagaimana akibatnya jika pasukan memanah tadi tidak diampuni oleh Rasul, tentu mental berjuang mereka menjadi lemah. Bahkan bisa jadi mereka keluar dari barisan perjuangan Rasulullah saw. Namun justru dengan diberikannya ampunan tadi menjadikan mereka semakin kuat dan semakin faham akan pentingnya menerapkan konsep Qiyadah Wal Jundiyyah dalam amal jama’i dan dalam setiap proses perjuangan.
Kelima, Kaidah Kemenangan dan Kekalahan dalam Surat Ali-Imron & Al-Anfal
Dalam berkompetisi, sudah lazim terjadi dua kondisi sekaligus: menang atau kalah. Tidak ada istilah kemenangan yang tertunda. Namun satu hal yang harus menjadi prinsip keyakinan kita sebagai seorang muslim, bahwa hakikatnya kemenangan itu mutlak datang dari Alloh dan kekalahan terjadi karena kesalahan dan kealfaan kita, sehingga menjadi pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan dan kealfaan yang sama dikemudian hari. Secara umum kaidah kemenangan dan kekalahan dalam dua surat diatas sebagai berikut;
1. Kemenangan mutlak ada ditangan Alloh, bukan milik seorang hamba atau siapapun. Surat Al-Anfal ayat 10 menegaskan ketentuan diatas
2. Ketika Alloh mentakdirkan kemenangan, maka semua kekuatan di muka bumi ini tidak ada yang sanggup mencegah datangnya kemenangan tersebut. Begitupun sebaliknya. Surat Ali-Imron ayat 160 menjadi bukti kebenaran konsep tersebut
3. Kemenangan itu memiliki syari’at dan ketetapannya. Rumus sederhananya: tolonglah Alloh maka Alloh akan menolong kalian. Menolong Alloh tentu sangat ringan, cukup mentaati aturan Alloh dan menjauhi larangan-Nya. Berkomitmen dengan janji setia bersama Alloh dan selalu istiqamah dalam syari’at-Nya. Mengikuti manhaj-Nya dan berjihad di jalan-Nya.
4. Kesatuan barisan dan kesatuan ruh menjadi asas utama meraih kemenangan. Surat Al-Anfal ayat 46 mendokumentasikan keagungan konsep diatas
5. Mentaati Alloh dan Rasul-Nya serta tidak keluar dari ketaatan itu merupakan pondasi utama meraih kemenangan
6. Cinta dunia dan berebut dunia hanya akan menjatuhkan umat dari pertolongan Alloh. Surat Ali-Imron ayat 152 memberikan gambaran yang utuh tentang bahaya diatas
7. Kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan bukan menjadi faktor kekalahan. Surat Ali-Imron ayat 123 menguatkan keyakinan diatas
8. Keindahan akhlak mulia dan kekuatan fisik harus terus dipersiapkan untuk menghadapi musuh. Surat Al-Anfal ayat 60 menjelaskan tentang pentingnya dua hal diatas
9. Tetap teguh dan besar dalam menghadapi musuh menjadi faktor lain penentu kemenangan. Surat Al-Anfal ayat 45 mengingatkan kepada kita akan pentingnya perkara diatas
10. Dzikir dan doa menjadi senjata utama meneguhkan hati saat berhadapan dengan musuh.
PENUTUP
Demikianlah sekelumit peristiwa yang terjadi para perang Uhud. Kemenangan yang pada awalnya sudah dimiliki kaum muslimin menjadi pupus dan sirna dikala kaum muslimin tidak mengikuti arahan dan intruksi Rasulullah saw. Ditambah lagi sikap kaum munafikin yang mundur dari medan pertempuran dan manuver mereka untuk mempengaruhi sebagian kaum muslimin untuk tidak ikut berjihad di medan Uhud menambah catatan penting dalam peperangan ini. Perang sudah usai dan Alloh memerintahkan kepada Rasul dan para sahabat untuk tidak larut dalam kesedihan. Alloh menghibur kaum muslimin dengan ayat-ayat-Nya yang mulia. Rasul pun menegaskan dihadapan kaum muslimin untuk tidak saling menyalahkan dan mengambil hikmah sebanyak-banyaknya dari perang Uhud. Dan keberkahan pun hadir kepada kaum muslimin, setelah mereka kalah dari perang uhud dan mengambil pejalaran darinya, tidak ada satupun peperangan yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat setelah perang uhud yang mengalami kekalahan. Para sahabat bangkit dari kelemahannya. Para sahabat segera bertaubat kepada Alloh dan istiqamah dalam syariat-Nya. Para sahabat tetap setia bersama perjuangan Rasulullah walaupun disisi lain upaya orang-orang munafik terus berusaha mempengaruhi kaum muslimin untuk meninggalkan barisan Rasulullah saw.
wallahu’alam bishowab
Discussion about this post