Imam Shamsi Ali
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis.
Yang pasti, Al-Qur’an penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah . Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang.
Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Qur’an adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter ketakwaan. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (Al-Amanah), dan keadilan (Al-‘Adl).
Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter ‘fujuur’ (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidak jujuran dan kebohongan, ketidak adilan (kezaliman), bahkan kekejaman dan kebiadaban.
Dalam sejarah, Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan ‘fujuur’ (korup) itu. Nabi Musa ‘alahissalam diutus kepada Fir’aun . Nabi Ibrahim kepada Namrud, dan seterusnya.
Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman dan bahkan eliminir. Tidak jarang pula resistensi itu berwujud kekerasan dan kezaliman.
Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezaliman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justru kezaliman dan kekejaman kekuasaan itu adalah indikasi kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan.
Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (red sea)? Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk? Kapan dan kenapa Tsamud binasa? Kenapa dan bagaimana para penguasa zalim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?
Al-Qur’an memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zalim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzalimi mengadukan nasib mereka ke penguasa langit dan bumi.
Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu, antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu ‘nushroh’ samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.
Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Fir’aun diingatkan berkali-kali dengan berbagai peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukannya. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut Merah.
Ini sekaligus indikasi bahwa harapan untuk penguasa zalim berubah sangat kecil. Kita tidak nafikan kemungkinan intervensi Ilahi. Tapi kezaliman penguasa terhadap rakyat kecil adalah penghalang besar antara manusia dan hidayah-Nya. Karena rakyat adalah ‘ra’iyah’ yang seharusnya dijaga, diurus, diperhatikan. Bukan disakiti demi kelanggenan kekuasaan itu sendiri.
Realitanya, kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja, bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia, untuk mempertahankan kekuasaannya. terkadang rasa malu itu menjadi semakian kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan ‘mainan’ demi kepentingan semata.
Sebaliknya upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani : “Dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan” (QS Al-Baqarah: 11).
Perilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Nabi Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya dia menjerit bak kesurupan setan “uqtuluuhu wanshuruu alihatakum (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian).”
Karenanya teruslah berjuang dengan ikhlas dan benar (bahasa formalnya secara konstitusional), konstruktif (tidak merusak), seraya menengadahkan kedua tangan ke langit. Insya Allah ketukan langit itu akan terdengar. Dan pada masanya janji itu akan tiba.
“Innallaha laa yukhliful mii’aad” (sesungguhnya Allah tidak pernah ingkar janji). Percayalah!
Musa, Peringatan bagi Fir’aun di Setiap Zaman
Kisah Nabi Musa alaihissalam adalah kisah yang paling banyak mendapatkan porsi di dalam Al Qur’an. Kisah yang sarat dengan pelajaran dan banyak mengandung ibroh ini amat penting kita pahami untuk melihat bagaimana kebenaran itu pada akhirnya menggilas kejahatan. Kisah Nabi Musa terdapat di 10 tempat dan disebutkan sebanyak 136 kali dalam Al-Qur’an.
Saat Perang Hunain, sebagian orang Anshar merasa tidak adil dengan kebijakan Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam dalam membagikan harta rampasan perang. Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam menunjukkan kemarahan ketika ada yang menuduh beliau tidak berlaku adil dalam pembagian tersebut. Jika Allah dan Rasul-Nya dianggap tidak adil, lantas siapa lagi yang mampu berlaku adil? Namun, di akhir kalimatnya Rasulullah berkata, “Semoga Allah merahmati Musa. Beliau disakiti oleh kaumnya melebihi dari ini dan mampu bersabar.” Ini adalah pelajaran besar bahwa Nabi shallalahu alaihi wa sallam kita pun mengambil ibrah dari sejarah.
Dalam kisah Nabi Musa terdapat dalam beberapa episode dan masing-masing episode memiliki pelajaran tersendiri:
- Firaun, dan ini yang paling banyak. Isinya tentang fitnah kekuasaan
- Qarun. Isinya kisah tentang fitnah kekayaan
- Samiri. Isinya kisah tentang fitnah beragama
- Nabi Khidir. Isinya tentang fitnah ilmu pengetahuan
- Bani Israil. Kisah kesabaran Nabi Musa dan umat yang paling susah diatur
Fir’aun menjadi simbol kezaliman sepanjang masa. Di dalam dirinya terkumpul kesesatan dalam akidah, kezaliman yang paling tinggi, dan keengganan menerima kebenaran. Nama Firaun yang banyak sekali disebut di dalam Al Qur’an adalah salah satu dari tokoh-tokoh sejarah yang menolak kebenaran dari Allah yang kemudian dibinasakan dalam kesesatannya. Al Qur’an menjadikan akhir kehidupan buruk orang-orang semacam ini agar umat manusia khususnya para penguasa mengambil pelajaran dan berfikir.
Dalam surat Al-Fatihah, kita meminta ditunjukkan pada jalan mereka yang Allah ridhai, dan dijauhkan dari jalan mereka yang sesat. Di dalam sejarah, terdapat jalan hidup umat terdahulu yang telah nyata kesesatannya, dan kisah umat terdahulu yang telah diridhai Allah.
Salah satu kezaliman Fir’aun terhadap Bani Israil ialah kebijakan pembunuhan bayi laki-laki mereka. Fir’aun yang takut dengan pertumbuhan kaum Bani Israil mengeluarkan kebijakan bahwa setiap bayi laki-laki yang lahir harus dibunuh. Kesombongan yang ditopang dengan kekuasan memang kerap kali menjadi penyebab rusaknya tatanan alam di muka bumi.
Orang dengan karakter Fir’aun akan selalu ada di setiap zaman. Dan sunnatullah pun berlaku, bahwa setiap ada Fir’aun, ada pula Musa. Inilah semangat yang ingin dibangkitkan dalam kisah Nabi Musa. Kemenangan itu akan hadir pada mereka yang berada dalam kebenaran, dan bahwa kebenaran akan selalu mengalahkan kebatilan.
Kisah Fir’aun ini juga menjadi pelajaran bagi setiap pemimpin agar tidak berlaku zalim terhadap rakyatnya, sebelum berlaku atas dirinya sebagaimana yang berlaku atas diri Fir’aun.
Dalam kisah Fir’aun, Allah berkehendak menjadikan Nabi Musa alaihissalam sebagai orang yang paling dibenci dan ditakuti oleh Fir’aun, padahal ia adalah orang yang pernah dikasihinya karena diasuh di dalam istana oleh istrinya Fir’aun. Ini tentunya adalah hantaman psikologis yang sangat kuat sebelum hukuman fisik berlaku atas dirinya. Allah masih menambah lagi siksaan batin Fir’aun dengan menjadikan orang-orang terdekat yang ada di sekelilingnya justru beriman dengan apa yang dibawa Nabi Musa.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Ali Imran : 54)
Pada episode lain, Nabi Musa tinggal selama 10 tahun di negeri Madyan, membantu dua gadis penggembala memberi minum gembalaannya, yang belakangan diketahui mereka berdua adalah anak Nabi Syu’aib. Kemudian beliau dinikahkan dengan salah satu dari mereka oleh ayahnya dengan mahar bekerja untuknya di negeri itu selama 8 tahun yang digenapkan kemudian hingga 10 tahun oleh Nabi Musa. Episode ini penting karena menjadi tonggak sejarah yang mengubah sejarah Bani Israil.
Melihat dunia hari ini, kita membutuhkan Musa-Musa baru yang berani menyuarakan keadilan di hadapan pemimpin yang zalim, berani memperjuangkan mereka yang tertindas. Fir’aun adalah sosok penguasa yang kejam dan zalim, namun Allah Ta’ala berwasiat kepada Nabi Musa agar nasihat kebenaran itu disampaikan dengan lemah lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha : 43-44)
Nabi Musa tidak pernah mengetahui skenario yang telah Allah tetapkan untuknya ketika membawa Bani Israel keluar dari Mesir, beliau tidak mengetahui bagaimana kisah mereka sesudah keluar dari kungkungan Fir’aun. Seringkali Nabi Musa disakiti kaumnya walaupun mereka menyaksikan banyak sekali kemukjizatan sebagai bukti nyata bahwa beliau adalah utusan Allah. Bahkan oleh Bani Israel, Nabi Musa dianggap sebagai biang kesialaan yang mereka rasakan.
Di sini ada pelajaran besar bahwa seringkali pertolongan dari Allah itu bentuknya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, sebagaimana Nabi Musa tidak mengetahui bahwa lautan merah akan terbelah sesudah dipukul dengan tongkatnya. Yang beliau lakukan hanya patuh dan taat mengikuti petunjuk Allah untuk membawa Bani Israel keluar dari Mesir. Pelajaran lainnya adalah bahwa seringkali manusia terbaik itu prestasinya bukan di mata kaumnya, orang tersebut terus menerus bersabar dalam upaya memperbaiki umatnya walupun upaya itu sedikit pun tidak disambut baik oleh mereka. Namanya harum setelah wafatnya, ia disanjung tidak pada masanya dan semua prestasinya hanya Allah yang menilainya.
Ketika Allah terus memberikan kesuksesan bagi orang-orang yang zalim dalam melakukan kezalimannya, bisa jadi saat itu Allah hendak menyesatkannya sampai jauh, hingga ia sampai pada titik tidak bisa lagi kembali untuk mendapat petunjuk. Persis seperti yang dialami oleh Fir’aun. Allah mencabut nyawa Fir’aun saat pertaubatannya sudah lagi tak diterima. Ketika Allah sudah berkehendak menyesatkan seseorang, maka tiada siapa pun yang mampu memberinya hidayah. Ingatlah bahwa setiap kezaliman akan menemui jalan kesengsaraan.
Hari Kebinasaan Firaun
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Saat Nabi datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa Asyura (10 Muharam). Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang kalian lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah hari baik. Hari dimana Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini’.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Imam Muslim ditambahkan “Sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala, maka kami pun berpuasa”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya lebih berhak atas Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Muslim “Ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Sedangkan Firaun dan kaumnya ditenggelamkan”.
Kisah binasanya orang-orang zhalim yang terdapat di dalam Alquran, seperti Firaun, kaum Nabi Nuh, kaum ‘Aad, kaum Tsamud, kaum Nabi Luth, dll. selalu memunculkan pelajaran yang mendalam. Mereka tidak dibinasakan begitu saja, mudah dilupakan, dan tidak meninggalkan pelajaran untuk dipetik. Allah membinasakan mereka dengan cara tertentu dengan kebijaksanaan-Nya sehingga mereka kekal dalam ingatan dan tidak dilupakan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syuara: 8).
Tentang kaum Nabi Hudan dan Nabi Hud, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ * وَإِنَّهَا لَبِسَبِيلٍ مُقِيمٍ * إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِلْمُؤْمِنِين
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.
Tewasnya Firaun
Saat mengejar Nabi Musa, Firaun memimpin pasukannya dengan penuh kesombongan. Ia begitu tertipu dengan kekuasaan yang ia miliki. Ketika melihat laut terbelah, bukannya ia teringat akan kekuasaan Allah yang jelas-jelas terpampang di hadapannya, Firaun malah bertambah sombong dan berusaha sekuat tenaga mengejar Nabi Musa. Setelah berada di tengah laut, Allah binasakan dia dan pasukannya dalam sekejap saja.
Kemudian Allah tidak hancurkan jasad Firaun sebagai pelajaran.
آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ. فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal Sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Qs. Yunus: 91-92)
Orang-orang yang beriman memandang hal ini sebagai kekuasaan Allah yang luar biasa. Keimanan mereka semakin bertambah dan semakin yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Peristiwa ini juga mengajarkan bahwa orang zalim itu akan binasa dengan kezaliman mereka betapapun lama masa kekuasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ قَالَ ثُمَّ قَرَأَ: وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
“Sesungguhnya Allah Ta‘ala betul-betul menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Sampai tatkala Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan melepaskannya.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Begitulah siksaan Rabbmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya siksaan-Nya itu sangat pedih lagi keras.” (QS. Huud: 102).” (HR. Al-Bukhari no. 4318 dan Muslim no. 2583).
Sunnatullah terhadap orang-orang yang zalim ini terus berlangsung, tidak hanya terbatas pada umat-umat terdahulu saja. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آَخَرِينَ
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang teIah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya).” (QS. Al-Anbiya: 11).
sumber
- https://kalam.sindonews.com/read/198682/69/belajarlah-dari-sejarah-firaun-dan-namrud-1602850239?showpage=all
- https://kisahmuslim.com/4716-hari-kebinasaan-firaun.html
- https://bkpsdm.majalengkakab.go.id/artikel/musa-peringatan-bagi-firaun-di-setiap-zaman
Discussion about this post